
Pada Sabtu malam yang hangat di bulan Oktober 2023, Lentera Sastra Rakyat kembali hadir dengan sesuatu yang berbeda: memadukan kisah-kisah lama yang akrab di telinga kita sejak kecil—seperti legenda rakyat dan cerita tutur—dengan pendekatan digital dan format kekinian. Acara ini tak hanya menjadi bukti bahwa tradisi masih relevan, tapi juga bisa berkembang lewat teknologi dan kreativitas generasi muda.
Di tengah derasnya arus informasi dan budaya instan, Lentera Sastra Rakyat tahun ini mengambil langkah berani. Mereka tidak hanya menampilkan kembali cerita rakyat, tetapi menyesuaikannya dengan gaya penyampaian yang ramah generasi TikTok dan Instagram. Maka dari itu, tema tahun ini berbunyi: “Cerita Lama, Format Baru.”
Pembukaan: Visual, Digital, dan Emosional
Pukul 17.45 WIB, pengunjung mulai berdatangan. Bukannya langsung disuguhi panggung tradisional, mereka disambut oleh instalasi digital: layar proyeksi besar yang menampilkan komik bergerak (motion comic) dari cerita rakyat Rara Jonggrang dalam versi semi-animasi. Dilengkapi dengan narasi suara dan musik latar, format ini sukses menarik perhatian anak-anak muda yang biasanya lebih tertarik pada Netflix ketimbang naskah kuno.
“Biasanya saya denger cerita rakyat tuh di pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi ini keren, kayak nonton trailer film Marvel, tapi versi Jawa,” ujar Dea (22), pengunjung asal Yogyakarta.
Tantangan 60 Detik: Cerita Rakyat dalam Format Reel & TikTok
Segmen selanjutnya benar-benar menyentuh audiens muda. Panggung terbuka digunakan untuk Storytelling Challenge 60 Detik, di mana peserta ditantang untuk membawakan versi mereka sendiri dari cerita rakyat—dalam waktu 1 menit, seperti format video pendek.
Ada yang tampil dengan lipsync drama lucu ala TikTok, ada pula yang membawakan kisah Malin Kundang dengan gaya vlogger, lengkap dengan subtitle dan efek suara. Beberapa bahkan menggunakan AI voice untuk mengubah suara mereka menjadi seperti tokoh kartun. Penonton bersorak, tertawa, dan tak sedikit yang merekam lalu langsung mengunggahnya ke media sosial.
“Ini bukti kalau cerita lentera suara rakyat bisa relevan asal dibungkus dengan cara yang fresh,” kata Aris, juri dari komunitas kreator konten lokal. “Intinya bukan hanya menjaga warisan, tapi juga mengemasnya ulang untuk zaman ini.”
AR dan Cerita: Cerita yang Bisa Dipindai
Di salah satu sudut acara, stan pameran Cerita dalam AR (Augmented Reality) menarik perhatian.
Tim pengembang dari SMK Teknologi Budaya menjelaskan bahwa mereka membuat proyek ini sebagai tugas akhir sekolah. “Kami ingin generasi sekarang bisa ‘bertemu’ tokoh-tokoh legenda lewat media yang mereka kenal—gadget,” kata Lintang, ketua tim.
Tidak sedikit orang tua yang justru antusias mencoba fitur ini, bahkan beberapa mengajak anak-anak mereka mendekat dan menceritakan kembali kisah tersebut.
Kolaborasi Musik Digital dan Cerita Klasik
Sekitar pukul 20.00 WIB, suasana berubah syahdu. Di panggung utama, duo musisi elektronik lokal, Lantern & Lore, membawakan live set yang memadukan puisi-puisi rakyat dengan tradisi dan teknologi soundscape digital. Hasilnya adalah suasana hening namun emosional yang menggugah memori kolektif akan kampung halaman, masa kecil, dan dongeng sebelum tidur.
Mereka juga mengajak penonton ikut berkontribusi dengan mengirimkan suara atau kata favorit mereka lewat QR code. Sebuah kolaborasi nyata antara audiens dan panggung.
Refleksi: Budaya Bukan untuk Dikenang Saja
Para kreator, seniman, dan pegiat literasi digital berdiskusi ringan tentang pentingnya membawa nilai-nilai lokal ke dunia tradisi dan teknologi, tanpa harus kehilangan kedalaman atau makna.
“Apa gunanya punya budaya kaya kalau kita malu membicarakannya?” ujar Nisa, moderator diskusi. “Kalau anak-anak kita kenal BTS tapi nggak kenal kisah Ki Ageng Selo, ya berarti tugas kita belum selesai.”
Penutup: Lentera yang Semakin Terang
Lentera Sastra Rakyat 2023 bukan hanya menyinari masa lalu. Ia memantulkan cahaya itu ke masa kini, bahkan masa depan.