
Cerita rakyat adalah warisan yang sering terdengar di ruang-ruang keluarga, disampaikan dari generasi ke generasi. Namun seiring waktu, cerita-cerita itu mulai kehilangan ruang hidupnya. Digeser oleh konten digital, legenda lokal dan dongeng masa kecil perlahan memudar dari ingatan kolektif masyarakat. Tapi tidak pada malam 24 November 2023 lalu.
Di sinilah Lentera Sastra Rakyat tampil sebagai pemantik: menghidupkan kembali kisah-kisah yang hampir hilang lewat pertunjukan aksi panggung spektakuler, kreatif, dan menggugah. Dengan menggabungkan seni panggung, musik, multimedia, dan keterlibatan masyarakat, acara ini mengubah cerita rakyat yang nyaris dilupakan menjadi pengalaman teater yang tak mudah dilupakan.
Ia membawakan narasi tentang bagaimana dongeng-dongeng lokal dahulu menjadi pijakan nilai dan karakter aksi panggung spektakuler masyarakat desa, namun kini hanya hidup dalam fragmen-fragmen ingatan orang tua.
Segera setelah itu, lampu panggung berganti warna. Saya bahkan sempat lupa. Tapi malam ini, rasanya seperti beliau hidup lagi lewat panggung,” kata Intan, salah satu penonton yang datang bersama keluarganya.
Transformasi Lewat Seni Kolaboratif
Salah satu kekuatan Lentera tahun lalu adalah pendekatannya yang kolaboratif.
Yang membuat pertunjukan ini terasa modern adalah penggunaan multimedia: latar belakang panggung menampilkan proyeksi animasi sederhana yang menggambarkan aksi panggung spektakuler suasana hutan, banjir, dan mimpi dalam bentuk lukisan bergerak.
“Hutan itu tidak cuma tempat. Dalam cerita, ia bisa jadi ruang jiwa, ruang kehilangan. Teknologi kami gunakan untuk memperkuat itu,” jelas Raka Dwi, sutradara muda yang memimpin salah satu pementasan.
Cerita Rakyat sebagai Refleksi Sosial
Setiap pertunjukan tidak hanya menyuguhkan cerita lama sebagai nostalgia, tapi juga refleksi sosial yang relevan dengan kondisi saat ini.
Pementasan ini mendapat sorakan panjang karena membungkus kritik sosial dalam bentuk lucu, satir, namun tetap menyentuh. Adegan ketika Buto Genthong ‘menelan’ desa karena keserakahan justru memunculkan tawa dan renungan di saat bersamaan.
“Luar biasa.
Keterlibatan Penonton: Menjadi Bagian dari Cerita
Yang membedakan Lentera dari pertunjukan konvensional adalah keterlibatan penonton dalam narasi.
Sebuah segmen khusus bernama “Panggung Bocah Berkisah” menghadirkan 10 anak usia SD yang membacakan ulang versi mereka dari dongeng Timun Mas, Cindelaras, dan Legenda Telaga Warna. Tidak kaku, tidak textbook—namun lucu dan penuh spontanitas.
Api Unggun Penutup dan Janji yang Menyala
Tangis haru, tepuk tangan panjang, dan nyanyian sederhana mengiringi detik-detik terakhir malam itu.
Lentera Itu Kini Ada di Banyak Kepala
Yang terjadi malam itu bukan sekadar pertunjukan seni. Ia adalah pembuktian bahwa aksi panggung spektakuler cerita rakyat masih hidup—asal kita memberinya ruang, memberinya panggung, dan membiarkannya tumbuh bersama zaman. Dan Lentera Sastra Rakyat telah membuktikannya.