
Di malam Jumat yang sejuk di ujung tahun 2023, Lentera Sastra Rakyat kembali menyala, membakar semangat yang selama ini hanya membara pelan di sudut-sudut dusun. Acara tahunan ini bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan peristiwa budaya yang berhasil membuka kembali ruang untuk cerita-cerita lama yang nyaris tenggelam dalam deru modernitas.
Dengan tema “Cerita yang Menolak Mati”, panggung Lentera tahun 2023 menjelma menjadi semacam gerbang waktu. Penonton yang hadir tidak hanya diajak menonton, tetapi diajak masuk, berjalan bersama kisah-kisah yang dulu mungkin hanya terdengar dari lisan nenek, atau sekelebat lewat buku teks sekolah dasar.
Cerita Sebagai Alat Menghidupkan Ingatan Kolektif
Terselip pula penampilan dari pelajar SD setempat yang membawakan cerita Timun Mas dengan gaya teatrikal ceria, membuat suasana seimbang antara haru dan tawa.
Sesi “Dibalik Kisah”: Membongkar Makna Tersirat
Salah satu bagian yang paling menarik datang di pertengahan acara, sekitar pukul 19.45 WIB. Hadir sebagai narasumber adalah Bu Darsi, seorang guru senior sekaligus pegiat literasi lokal, dan Tegar, mahasiswa S2 Antropologi Budaya.
“Kita seringkali hanya mengenang cerita rakyat sebagai dongeng sebelum tidur,” kata Bu Darsi. “Padahal, di balik itu ada banyak simbol sosial. Ini perlu kita kritisi dan beri konteks baru.”
Tegar menambahkan, Lentera Sastra Rakyat menjadi panggung penting untuk memperbaharui tafsir cerita, bukan sekadar melestarikannya.
Visual Cerita: Galeri Rakyat yang Menghidupkan Imajinasi
Di area samping panggung, terdapat Galeri Cerita Visual—sebuah narasi pameran mini yang menampilkan ilustrasi ulang cerita rakyat versi generasi muda. Beberapa di antaranya bahkan menggambarkan tokoh-tokoh lama seperti Buto Ijo atau Nyi Blorong dalam versi superhero, lengkap dengan QR code yang mengarahkan ke video pendek di TikTok.
“Saya ingin anak-anak sekarang kenal cerita rakyat seperti mereka kenal Marvel,” ujar Genta, siswa SMK Multimedia yang ikut memamerkan karya. “Tapi versi kita sendiri.”
Pameran ini jadi titik favorit pengunjung. Banyak yang berhenti untuk foto, diskusi, bahkan memberi saran ilustrasi berikutnya.
Ritual Simbolik: Lentera dan Cerita di Atas Air
Pemandangan menjadi begitu syahdu—ratusan cahaya kecil melayang pelan, membawa pesan, kenangan, dan harapan.
MC malam itu menutup acara dengan kutipan sederhana namun mengena:
“Cerita rakyat adalah milik semua zaman. Tugas kita bukan hanya menjaga, tapi juga menghidupkan kembali.”
Kesan dan Harapan: Cerita yang Masih Akan Terus Hidup
Lentera Sastra Rakyat tahun 2023 membuktikan bahwa panggung budaya tidak harus megah atau viral untuk bermakna. Cukup dengan ruang yang inklusif, kreatifitas yang jujur, dan cinta pada cerita—kita bisa membangkitkan kembali apa yang hampir mati.
“Tapi ternyata saya malah terbawa emosi. Rasanya kayak pulang ke masa kecil,” katanya sambil menunjukkan lentera kertas yang ia bawa pulang sebagai kenang-kenangan.
Di tengah gempuran budaya luar, acara seperti ini menjadi oasis kecil yang menyegarkan. Ia tidak melawan zaman, tapi berdialog dengannya.
Dan mungkin, dari panggung sederhana di desa itu, cerita-cerita rakyat kita sedang menyiapkan kelahiran kembali yang lebih relevan, lebih kuat, dan lebih hidup dari sebelumnya.